25 Agustus 2017, tepat pada hari Jumat, di mana masih seperti hari-hari biasanya, yang diwarnai dengan teriknya sinar mentari yang menaungi Surabaya, maupun Sidoarjo tercinta. Di hari itu pula, akan menjadi salah satu tonggak awal untuk memulai sebuah petualangan yang mana akan menjadi salah satu petualangan yang sangat berwarna, meskipun entah warna apa yang akan dihasilkan darinya. Semuanya mulai terasa berbeda, saat keberangkatan menuju maupun sesaat di bandar udara Juanda, yang mana awalnya terasa, “ah, apa sih hal terburuk yang akan terjadi”, menjadi “haruskah aku berangkat?”. Yang awalnya “ah, ini pasti akan mudah” menjadi “aku isok ta iki?”. Beberapa perasaan tidak yakin, serta rendahnya tingkat kepercayaan terhadap diri sendiri pun kembali menggebu-gebu. Namun, semua harus dilakukan, mengingat pengorbanan dari kedua orang tua, maupun dari diriku sendiri yang sudah berjuang untuk dapat mendapatkan privilege ini, yang tidak semua mahasiswa mampu untuk bisa menjadi seberuntung ini. Bak tekad bulat khas arek-arek Suroboyo, “wis bondo wani sek ae”, bisikku dalam hati. Pesawat pukul 19. 10, berangkat dari Bandar Udara Internasional Juanda, menuju Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, sebelum melanjutkan penerbangan menuju Bandar Udara Internasional Incheon, Korea Selatan, yang mana akan menjadi salah satu perjalanan terjauh yang pernah tertempuh.
8 setengah jam, waktu yang ditempuh untuk mencapai Bandar Udara Incheon, Korea Selatan, di mana sebuah petualangan besar selama beberapa waktu ke depan, telah menanti untuk segera dijajaki dan ditaklukkan. 8 setengah jam perjalanan, dari zona nyaman yang selama ini telah menjadi rumah, dengan keramahannya yang selalu membuat rindu akan kembali kepadanya. 8 setengah jam, jarak tempuh untuk mencari sebuah pengalaman baru untuk berada sangat jauh dari apa yang biasa disebut dengan rumah, dengan segala kehangatan yang ditawarkannya. Mentari pagi menyingsing, seperti menyiratkan sebuah pesan selamat pagi dari dunia, kepadaku. Sebuah pesan selamat atas pencapaian sejauh ini, berada di ketinggian ribuan kaki, menuju sebuah anak tangga menuju mimpi yang tiada berbatas. Ditemani segelas susu dingin, dan buah karya dari Bapak Sapardi, perjalanan ini akan tiba pada tujuan awalnya, sebuah tujuan yang akan mengawali tujuan-tujuan besar lainnya, yang telah menanti untuk diwujudkan di kemudian hari.
Incheon International Airport, begitu tempat ini biasa dikenal oleh khalayak luas. Disambut dengan kemegahan khas dari negara maju, yang secara tidak langsung menyiratkan pesan untuk kami, para pendatang dari negara jauh di seberang, selamat datang, dan selamat berjuang atas mimpi kalian masing-masing. Kaki yang akhirnya kembali memijak tanah, setelah berjam-jam terapung di udara, merasa bangga akan dirinya, yang pada akhirnya mampu menjejakkan kakinya di negeri asing, negeri nun jauh yang bahkan tak pernah ia pikirkan untuk dapat berlabuh padanya. Mendarat di negeri asing, memang bukanlah pengalaman yang ganjil baginya, namun untuk melangkah dalam sebuah dunia yang ia tidak pernah duga sebelumnya, untuk rentang waktu yang amat panjang, akan menjadi sebuah asam-garam baru dari kehidupan, yang akan memberikan warna berbeda dalam cerita ini. Pada dasarnya, diri ini percaya bahwa terkadang rasa pahit dari kehidupan memang diperlukan, agar cerita dari setiap orang dapat menjadi sebuah cerita yang layak untuk kembali diceritakan di hari-hari yang akan datang, dengan beragamnya rasa, juga warna dari cerita tersebut. Beberapa orang menyambut kedatangan kami, para penuntut ilmu dari negeri jauh, yang masing-masing dari kami akan menemukan tujuan mereka masing-masing. Berkenalan, berbincang ringan, menjadi sebuah agenda wajib bagi para pendatang, untuk mengakrabkan diri mereka dengan para pendatang lain, yang mana mereka akan mempunyai beberapa kesamaan dengan kami, yakni sebagai orang asing di negeri orang. Bahasa Inggris menjadi jembatan bagi kami, untuk saling membuka diri, agar dapat menjalin sebuah ikatan yang lebih baik. Kedatangan kami di Bandar Udara Internasional Incheon, menjadi pertanda bahwasanya, petualangan kami sebagai para pendatang telah dimulai.
8 setengah jam, bukanlah akhir dari perjalanan panjang awalku untuk memulai petualangan ini. Mengingat Gwangju, tempat di mana aku akan menghabiskan sebagian besar dari petualanganku di negeri Ginseng ini, berada cukup jauh di sisi selatan dari Korea Selatan. 4 jam perjalanan tambahan dengan bantuan moda angkutan darat, menjadi bagian lanjutan untuk dapat mencapai kota yang dikenal dengan pemandangan alamnya yang cukup menyejukkan mata. Seorang kawan baru dari negara tetangga, menjadi teman sebangku yang turut menemaniku selama perjalanan yang cukup melelahkan ini, selain buah karya dari Bapak Sapardi dan sepasang Converse 70’s yang turut setia menemani perjalanan ini. Dalam perjalanan, terbayang sudah bagaimana eloknya kota Gwangju dengan warna-warni yang turut mengisinya.
Lelah masih menyelimuti, saat raga mulai memasuki sebuah dunia baru, dunia asing yang akan menjadi teman terdekat untuk beberapa hari ke depan, asrama kampus Chonnam National University. Wajah-wajah sumringah menyambut kami, para pendatang, agar tetap merasa seperti di rumah. Sungguh, sebuah sistem yang sangat baik, di mana seorang buddy akan bertugas menjadi seorang teman terdekat dari setiap mahasiswa yang masih sangat awam dengan keadaan sekitar, terlebih bila mereka tidak mempunyai bekal berbahasa hanguk, begitu mereka menyebutnya. Diantara belasan wajah cerah itu, tidak aku temukan buddy-ku. “Ah, mungkin aku saja yang kurang jeli”, gumamku sembari mencarinya. Namun apa daya, tak kunjung ku temukan teman yang seharusnya ada untukku ini. Temannya yang lain, menawarkan bantuannya untuk membantuku, untuk dapat menuju ke kamar asramaku, kamar di lantai 6 yang berformat seperti apartemen studio. Sesampainya di kamar, aku mencoba untuk menghela nafas sejenak, membuka jendela yang kurasa belum lama ditutup dan ditinggalkan penghuninya yang terdahulu. Sembari membuka koper dan menata semua barang-barang bawaanku, aku mencoba untuk belajar untuk lebih memahami apa sebenarnya yang dapat aku lakukan, dan bisa aku dapati di kamar persinggahanku ini. Dengan keadaan terputus dari dunia luar, sejenak aku baru menyadari bahwasanya aku tidak mengerti apa yang aku harus lakukan, ataupun pada siapa aku dapat meminta bantuan. Terlihat secercah harapan saat kulihat tempat kabel LAN, yang biasa digunakan untuk menghubungkan dengan koneksi internet. Namun, setelah dua jam mencoba untuk mencari tahu keberadaan kabel LAN, aku pun mulai putus asa dan coba untuk pergi ke bawah, untuk membeli sesuatu yang dapat mengganjal perut, yang meskipun telah diisi oleh beberapa potong Beng-Beng, yang kubawa dari rumah. Betapa bahagianya saat kulihat berjajarnya kabel LAN yang dijajakkan pada toko serba ada yang berada di dekat asrama. Namun, masalah kembali hadir saat aku baru ingat, bahwasanya aku belum mempunyai pengalaman mengenai pengaturan IP, dan sebagainya. Bak seorang yang serba tahu, aku pun mencoba untuk mengutak-atik perangkatku, namun tidak kunjung berhasil, meskipun sudah ada sebuah kertas yang diharapkan dapat membantu para penghuni asrama untuk pengaturan internet, meskipun sepertinya mereka lupa bilamana tidak semua penghuni dari asrama ini ialah mahasiswa yang telah mempunyai kemampuan yang mumpuni, meskipun hanya untuk dapat sekadar membaca tulisan hangul. Dalam keputus asa-an, perangkatku pun aku istirahatkan, tak hanya badan ini. Namun, setelah beberapa saat, ketika aku kembali menyetel ulang perangkatku, sebuah koneksi jaringan pun telah terhubung. Sontak, meskipun hari sudah larut, langsung aku berikan kabar kepada kedua orang yang senantiasa menunggu kabar dari anak bungsu-nya ini. Sadar bila telah larut, akupun mengistirahatkan perangkatku, dan juga badanku agar keesokan harinya diri ini akan siap dengan segala petualangan yang telah menanti untuk dijelajahi.