21:50

Siapa sangka, bisa sejauh ini?
Siapa sangka, bisa sampai di sini?

Hidup sendiri,
hidup mandiri.

Memulai lagi,
dari sini.

Mencari pengalaman“, katanya. “Mencari uang”, katanya.

Baru setahun“, katanya. “Belum apa-apanya”, katanya. Memang, setahun bukanlah sebuah angka yang hebat, terlebih untuk mereka yang sudah mengabdikan sepertiga, bahkan lebih dari separuh hidupnya, untuk kehidupan seperti ini.

Menjadi bagian kecil dari penggerak roda ekonomi negara, siapa sangka? Bekerja lebih dari 8 jam sehari, bahkan pada beberapa kesempatan sampai tidak sadar bahwa hari sudah berganti. “Demi penghidupan, untuk kehidupan yang lebih baik”, katanya. Entah, kehidupan seperti apa yang diceritakan itu.

Ada yang bertahan sampai ujung usianya, pada kehidupan seperti ini. Ada yang hanya bertahan, kurang dari setahun dengan kehidupan seperti ini. Ada yang berdoa seumur hidupnya untuk dapat memiliki kehidupan seperti ini. Ada yang sedang berusaha untuk bertahan, dengan segenap kata-kata manis yang mereka ucapkan pada diri mereka sendiri.

Terjebak rutinitas menjadi hal yang lumrah bagi sebagian orang, namun tidak bagi sebagian yang lain. Terjebak dalam ketidakpastian menjadi hal yang wajar bagi sebagian orang, namun tidak bagi sebagian yang lain. Satu hal yang pasti, bahwa mereka semua sedang berjuang untuk penghidupan yang mereka tautkan, dalam setiap doa mereka.

Penghidupan demi kehidupan“, kata sebagian dari mereka. “Penghidupan tidaklah berarti tanpa kehidupan“, kata sebagian yang lain. Apapun itu, penghidupan dan kehidupan akan selalu berkaitan, dan sejalan.

Panjang umurlah, untuk apapun yang kamu percaya. Teranglah jalanmu, ke manapun yang kamu tempuh.

Dari dia,
yang sedang di persimpangan.

00.46 am.

it always feels great,

being in someone’s mind

and someone’s heart.

nothing’s better,

than being loved

by someone you love the most.

these,

“how you’re doing?”

“is everything fine?”

“how was your day?”

mean so much

than what you can imagine.

but,

here i am.

alone.

unwanted.

unneeded.

Regret.

He used to be the dreamer one. He believed that his life meant to be something.

He used to put his trust in every person he met. “Everyone is kind-hearted”, he said.

He used to trust himself. But the universe didn’t.

He used to be him. The best version of him.

He had it.

But not anymore.

Aku Senang.

Aku senang mendengarkan cerita berbangga milik orang-orang. Tak ada congkak. Hanya rasa bangga.

Aku gembira, bila melihat orang tertawa. Tanpa beban, tanpa dendam.

Aku suka, melihat binar mata mereka menyala, saat bercerita mengenai kesukaannya. Kadang karya. Kadang manusia.

Tapi, ada hal yang lebih aku suka.

Menjadi alasan orang berbangga.

Menjadi alasan orang tertawa.

Menjadi alasan binar mata mereka.

Tak apa.

Mungkin bukan sekarang.

Coba lagi esok, ya?

Keluarga.

Keluarga, sebuah hubungan kekerabatan yang mendasar dalam masyarakat. Berawal dari keluarga, manusia belajar untuk hidup. Berawal dari keluarga, manusia diajak untuk memiliki kepedulian. Dari keluarga, manusia diajarkan untuk menghargai sesama. Dari keluarga, manusia mengerti arti merajut kehidupan bersama dengan kumpulan manusia lainnya. Melalui keluarga, manusia memahami arti hadirnya sesama dalam setiap kesempatan. Melalui keluarga, manusia menyadari esensi dari menjadi makhluk sosial untuk sesamanya. Karena pada hakikatnya, keluarga tempat akar pelajaran akan kehidupan berasal.

Keluarga, tempat berkeluh kesah. Tempat untuk menuangkan segala rintihan tentang kesukaran yang sedang dihadapi, hingga penyesalan pada hal yang telah terlewati. Keluarga juga menjadi tempat berbagi cerita. Berbagi segala pengalaman, yang mungkin tidak akan pernah kembali terulang di kemudian hari. Keluarga, menjadi tempat berbagi ide-ide gila yang mungkin tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Karena keluarga, adalah tempat manusia berbagi cerita, dan keluh kesah.

Terpisahkan jarak ratusan, bahkan ribuan kilo, tidak akan memutus tali kekeluargaan. Sekalipun terpisahkan oleh gunung dan laut sekalipun, keluarga akan selalu menjadi keluarga. Keluarga, dapat ditemukan di mana saja. Tidak hanya terpaku pada satu bentang, namun keluarga lebih dari itu. Mungkin aku sedang berada di sisi seberang laut yang berbeda dari rumah. Mungkin aku sedang menjejakkan kaki di atas tanah yang berbeda dengan rumah. Mungkin yang sama, hanyalah langit yang kami junjung. Namun keluarga lebih dari itu. Keluarga tidak hanya sebatas pertalian darah, namun juga dapat disatukan karena takdir yang sama. Keluarga tidak hanya sebatas hubungan darah, namun juga dapat disatukan oleh cerita yang sama. Keluarga, lebih dari sekadar jarak.

Aku sangatlah beruntung, untuk dapat merasakan nikmatnya memiliki sepotong kecil dari surga, yakni keluarga. Keluarga yang menjadi tempatku belajar, tempatku mencurahkan kesedihan juga kebahagiaan, hingga cerita yang memang sebenarnya tak akan menjadi sebuah hal yang penting bagi orang lain. Sebuah keluarga yang selalu menuntun ke arah kebajikan. Keluarga, yang akan selalu terbawa.

Di sini, aku menjadi salah satu manusia yang beruntung. Menemukan sepotong kecil keluarga, di negeri yang asing ini. Menemukan sebuah tempat untuk berbagi cerita. Menemukan tempat untuk bertanya mengenai hal-hal sederhana. Menemukan tempat untuk tertawa bersama. Menemukan tempat di mana aku merasa menjadi bagian dari mereka. Keluarga, yang tak akan terlupa.

Keluarga, lebih dari sekadar ikatan. Keluarga tidak hanya sebatas ikatan darah. Keluarga tidak dibatasi oleh jarak dan waktu. Keluarga lebih dari semua itu.

Karena kepada keluarga, kelak semua akan kembali.

Prelude.

Permulaan akan selalu menjadi sebuah fase yang paling sukar untuk dilalui, begitu kata orang-orang. Dalam permulaan, semua hal dapat bermula, untuk lalu menjadi sebuah hal yang lebih besar di kemudian hari. Melalui permulaan, manusia akan diuji akan keteguhan dirinya, juga mimpinya, apakah diri mereka beserta mimpinya lebih tangguh daripada segala hal yang mampu meluluhlantakkan dirinya, juga mimpinya. Melalui permulaan, semua hal dapat terjadi, karena melalui permulaan, semua kemungkinan akan menjadi absolut.

Kesukaran, merupakan hal yang lumrah dalam setiap hal yang akan ditemui, karena pada dasarnya manusia ditakdirkan untuk belajar. Manusia tidak diciptakan untuk mempunyai semua kemampuan yang mumpuni dalam segala hal. Kesukaran diciptakan agar manusia mempunyai mimpi, yang jauh lebih besar daripada setiap kesukaran yang mereka hadapi. Setiap kesukaran, akan mempunyai jalan keluarnya masing-masing, begitulah sabda-Nya. Melalui kesukaran inilah, manusia diajak untuk melihat kembali bahwasanya manusia perlu bekerja keras, dan tetap tanpa ada keinginan untuk berputus asa atas segala kemungkinan yang terjadi, di kemudian hari.

IMG_2187

Layaknya setiap hal, petualangan yang akan aku jalani ini mempunyai sebuah langkah permulaan, yang mengharuskanku untuk dapat melewatinya, meskipun dengan terpayah-payah. Tanpa melalui permulaan ini, anak-anak tangga yang lain pun tidak akan mungkin dapat ditapaki dengan mudah, Permulaan memang terasa sangatlah sukar, mengingat dalam permulaan ini, kita dipaksa untuk belajar sedari hal yang paling dasar, mengenai apa saja yang bertautan, secara langsung maupun tidak dengan segala macam urusan, mulai dari urusan perut hingga menjaga kepercayaan. Hal inilah yang turut aku rasakan, selama sepekan pertama di negeri yang asing bagiku ini. Diantara perasaian yang ada, terpisahkan oleh jarak yang signifikan dengan kampung halaman untuk pertama kalinya, menjadi yang paling terasa pada saat pekan pertama berada di negeri orang. Seolah sadar bila waktu untuk kembali ke kampung halaman akan sangatlah panjang, aku mulai berfikir tentang hal-hal kecil tentang rumah, hingga penghuni-penghuninya yang senantiasa mengiringi dalam mengarungi setiap kelapangan maupun kesempitan yang pernah menghampiri. Merasa terasingkan, juga menjadi satu perkara yang turut mengundang kesukaran di masa permulaan ini. Seorang yang sudah terbiasa untuk menetap di zona nyaman, dengan segala kemudahannya, harus menerima kenyataan yang biasa dirasakan oleh setiap pendatang yang baru tiba di sebuah daerah yang cukup asing baginya, yakni merasa terasingkan. Tidak memiliki teman untuk bercakap-cakap secara langsung, berbagi beban maupun pikiran, sedikit demi sedikit membuka kesadaranku, betapa beruntungnya aku senantiasa memiliki tempat untuk berbagi pikiran dan beban. Tempat untuk berbagi keluh kesah, mempunyai peran yang sangat vital bagi setiap orang, mengingat manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, yang mana mereka tidak didesain secara khusus untuk hidup tanpa adanya pengakuan, atau pun relasi. Tidak adanya pemenuhan atas kebutuhan mendasar tersebut, akan memberikan beban tambahan yang tidak semestinya dipikul sendiri. Pada akhirnya, setiap pendatang pastilah cepat atau lambat akan mendapatkan kesempatannya tersendiri untuk merasakan kerumitan yang tak jarang amatlah pelik, yang memaksa mereka untuk bertumbuh, dan menyelesaikannya dengan tangannya sendiri.

Berada jauh dari zona nyaman, tak jarang memaksa manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, baik dalam hal kepribadian secara umum, maupun pada hal-hal yang lebih spesifik, lebih religius contohnya. Tidak bermaksud munafik, namun pada dasarnya manusia seringkali dibutakan oleh semua kemudahan dan kenikmatan yang ditawarkan oleh zona nyaman. Kemudahan dan kenikmatan ini juga yang pada akhirnya menarik mereka untuk jatuh lebih dalam kepada ketidakpedulian dan keengganan untuk bersyukur akan keadaan dan kemudahan yang telah mereka terima selama ini. Manusia cenderung untuk tidak merasa cukup untuk bersyukur, hingga kemudahan dan kenikmatan yang biasa mereka rasakan, kembali menjadi sebuah hal yang mahal harganya untuk ditebus. Seperti manusia lainnya, aku pun begitu. Bilamana semua makanan tersedia, kehalalan  akan segala bentuk pangan untuk mengisi perut yang selalu terjamin adanya, kemudahan dalam beribadah, namun agak berbeda halnya bila di sini. Menjadi bagian kecil dari minoritas di negeri ini, menjadi sebuah pengalaman yang baru, mengingat bagaimana selama 21 tahun hidup dalam kegelimangan kemudahan bak mayoritas di manapun, telah membuatku berfikir bahwasanya segala kemudahan yang telah aku miliki adalah suatu hal yang biasa. Permisalannya, hal yang paling mudah ialah makanan, di mana di Indonesia makanan halal merupakan sebuah hal yang sangatlah banyak tersebar luas di setiap sudut jalan, yang sudah menanti untuk siap dihampiri, dengan harga yang masih cukup masuk akal di kantong setiap golongan masyarakat. Namun, di sini cukup berbeda, di mana untuk memenuhi kebutuhan jasmani satu ini, rata-rata yang harus dikeluarkan berkisar antara Rp 40,000 hingga yang tak terkira harganya. Sungguh, segala kemudahan di setiap langkah manusia ialah sebuah berkah yang tiada terkira nilainya, yang harus tetap disyukuri, tanpa ada akhir.

IMG_2189

Lima senja berlalu, datanglah kepada sebuah hari yang istimewa, yang selalu dielu-elukan dan ditunggu-tunggu kehadirannya, Idul Qurban. Cukup berbeda dengan 20 perayaan Idul Qurban yang telah berselang sebelumnya, hari itu menjadi sebuah hari yang sangat berbeda dibandingkan dengan yang lain. Jauh dari keluarga, jauh dari rumah, jauh dari zona nyaman, bahkan dari suasana yang biasa aku rasakan, pada saat yang sama. Menjadi minoritas, menjadi pendatang, tanpa tahu sedikitpun bahkan tentang tempat untuk menunaikan ibadah sekali setahun itu, telah menjadi sebuah hal yang harus aku hadapi. “Mungkin aku bisa menemukan seorang yang dapat membantuku untuk bisa bertahan di sini”, hiburku. Memulai sebuah perjalanan di saat fajar bahkan belum memberi salamnya, itulah yang aku lakukan agar dapat sampai tepat pada waktunya untuk menunaikan ibadah ini. Tak disangka, bertemu dengan para saudara dari Bangladesh, hingga diajak untuk menikmati sarapan dengan mereka, menjadi sebuah kejutan pertama di hari itu. Perut telah merasakan kebahagiaannya, perjalanan pun aku lanjutkan. Namun, satu bis pun tiada yang terlihat. Merasa was-was, taksi pun menjadi sebuah pilihan yang masuk akal, pikirku pada saat itu. Meski dengan seidkit merogoh kocek lebih dalam, sampailah aku pada rumah Allah, yang letaknya cukup jauh dari tempat aku biasa beristirahat setelah senja beranjak pulang. Bersama saudara seiman lainnya, kami berkumpul di majelis, yang selama seminggu ini mulai aku rindukan suasananya. Sesaat setelah duduk, beberapa bisikan yang akrab di telinga ini mulai terdengar, seperti yang biasa kudengar di tempat asal aku berada. Sungguh senang tak terasa, aku menemukan saudara yang datang dari tanah yang sama, Indonesia. Setelah sholat, kuberanikan diri untuk menghampiri beliau untuk memperkenalkan diriku, dan tentang untuk apa aku kemari. Sungguh, bilamana sesama pengembara dengan asal yang sama bertemu, akan menjadi sebuah pertemuan yang sangat hangat. Selain beliau, ada beberapa senior-senior lain yang sudah saling menganggap sebagai saudara di tanah perantauan, yang terpisahkan oleh daratan dan lautan dari rumah, namun dipersatukan oleh jarak. Sungguh menjadi suatu kebahagiaan tersendiri untuk dapat menemukan secuil rumah di tanah rantau ini.

Awal, memang tidak akan pernah menjadi bagian yang mudah. Awal, memang akan selalu menjadi bagian yang paling menantang. Dengan perawalan, semua bisa terjadi. Dengan perawalan, semua kemungkinan menjadi nyata adanya.

 

Kedatangan.

25 Agustus 2017, tepat pada hari Jumat, di mana masih seperti hari-hari biasanya, yang diwarnai dengan teriknya sinar mentari yang menaungi Surabaya, maupun Sidoarjo tercinta. Di hari itu pula, akan menjadi salah satu tonggak awal untuk memulai sebuah petualangan yang mana akan menjadi salah satu petualangan yang sangat berwarna, meskipun entah warna apa yang akan dihasilkan darinya. Semuanya mulai terasa berbeda, saat keberangkatan menuju maupun sesaat di bandar udara Juanda, yang mana awalnya terasa, “ah, apa sih hal terburuk yang akan terjadi”, menjadi “haruskah aku berangkat?”. Yang awalnya “ah, ini pasti akan mudah” menjadi “aku isok ta iki?”. Beberapa perasaan tidak yakin, serta rendahnya tingkat kepercayaan terhadap diri sendiri pun kembali menggebu-gebu. Namun, semua harus dilakukan, mengingat pengorbanan dari kedua orang tua, maupun dari diriku sendiri yang sudah berjuang untuk dapat mendapatkan privilege ini, yang tidak semua mahasiswa mampu untuk bisa menjadi seberuntung ini. Bak tekad bulat khas arek-arek Suroboyo, wis bondo wani sek ae”, bisikku dalam hati. Pesawat pukul 19. 10, berangkat dari Bandar Udara Internasional Juanda, menuju Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, sebelum melanjutkan penerbangan menuju Bandar Udara Internasional Incheon, Korea Selatan, yang mana akan menjadi salah satu perjalanan terjauh yang pernah tertempuh.

8 setengah jam, waktu yang ditempuh untuk mencapai Bandar Udara Incheon, Korea 525357356.560294Selatan, di mana sebuah petualangan besar selama beberapa waktu ke depan, telah menanti untuk segera dijajaki dan ditaklukkan. 8 setengah jam perjalanan, dari zona nyaman yang selama ini telah menjadi rumah, dengan keramahannya yang selalu membuat rindu akan kembali kepadanya. 8 setengah jam, jarak tempuh untuk mencari sebuah pengalaman baru untuk berada sangat jauh dari apa yang biasa disebut dengan rumah, dengan segala kehangatan yang ditawarkannya. Mentari pagi menyingsing, seperti menyiratkan sebuah pesan selamat pagi dari dunia, kepadaku. Sebuah pesan selamat atas pencapaian sejauh ini, berada di ketinggian ribuan kaki, menuju sebuah anak tangga menuju mimpi yang tiada berbatas. Ditemani segelas susu dingin, dan buah karya dari Bapak Sapardi, perjalanan ini akan tiba pada tujuan awalnya, sebuah tujuan yang akan mengawali tujuan-tujuan besar lainnya, yang telah menanti untuk diwujudkan di kemudian hari.

 

Incheon International Airport, begitu tempat ini biasa dikenal oleh khalayak luas. Disambut dengan kemegahan khas dari negara maju, yang secara tidak langsung menyiratkan pesan untuk kami, para pendatang dari negara jauh di seberang, selamat datang, dan selamat berjuang atas mimpi kalian masing-masing. Kaki yang akhirnya kembali memijak tanah, setelah berjam-jam terapung di udara, merasa bangga akan dirinya, yang pada akhirnya mampu menjejakkan kakinya di negeri asing, negeri nun jauh yang bahkan tak pernah ia pikirkan untuk dapat berlabuh padanya. Mendarat di negeri asing, memang bukanlah pengalaman yang ganjil baginya, namun untuk melangkah dalam sebuah dunia yang ia tidak pernah duga sebelumnya, untuk rentang Bandar Udara Internasional Incheon.waktu yang amat panjang, akan menjadi sebuah asam-garam baru dari kehidupan, yang akan memberikan warna berbeda dalam cerita ini. Pada dasarnya, diri ini percaya bahwa terkadang rasa pahit dari kehidupan memang diperlukan, agar cerita dari setiap orang dapat menjadi sebuah cerita yang layak untuk kembali diceritakan di hari-hari yang akan datang, dengan beragamnya rasa, juga warna dari cerita tersebut. Beberapa orang menyambut kedatangan kami, para penuntut ilmu dari negeri jauh, yang masing-masing dari kami akan menemukan tujuan mereka masing-masing. Berkenalan, berbincang ringan, menjadi sebuah agenda wajib bagi para pendatang, untuk mengakrabkan diri mereka dengan para pendatang lain, yang mana mereka akan mempunyai beberapa kesamaan dengan kami, yakni sebagai orang asing di negeri orang. Bahasa Inggris menjadi jembatan bagi kami, untuk saling membuka diri, agar dapat menjalin sebuah ikatan yang lebih baik. Kedatangan kami di Bandar Udara Internasional Incheon, menjadi pertanda bahwasanya, petualangan kami sebagai para pendatang telah dimulai.

8 setengah jam, bukanlah akhir dari perjalanan panjang awalku untuk memulai petualangan ini. Mengingat Gwangju, tempat di mana aku akan menghabiskan sebagian besar dari petualanganku di negeri Ginseng ini, berada cukup jauh di sisi selatan dari Korea Selatan. 4 jam perjalanan tambahan dengan bantuan moda angkutan darat, menjadi bagian lanjutan untuk dapat mencapai kota yang dikenal dengan pemandangan alamnya yang cukup menyejukkan mata. Seorang kawan baru dari negara tetangga, menjadi teman sebangku yang turut menemaniku selama perjalanan yang cukup melelahkan ini, selain buah karya dari Bapak Sapardi dan sepasang Converse 70’s yang turut setia menemani perjalanan ini. Dalam perjalanan, terbayang sudah bagaimana eloknya kota Gwangju dengan warna-warni yang turut mengisinya.

Lelah masih menyelimuti, saat raga mulai memasuki sebuah dunia baru, dunia asing yang akan menjadi teman terdekat untuk beberapa hari ke depan, asrama kampus Chonnam National University. Wajah-wajah sumringah menyambut kami, para pendatang, agar tetap merasa seperti di rumah. Sungguh, sebuah sistem yang sangat baik, di mana seorang buddy akan bertugas menjadi seorang teman terdekat dari setiap mahasiswa yang masih sangat awam dengan keadaan sekitar, terlebih bila mereka tidak mempunyai bekal berbahasa hanguk, begitu mereka menyebutnya. Diantara belasan wajah cerah itu, tidak aku temukan buddy-ku. “Ah, mungkin aku saja yang kurang jeli”, gumamku sembari mencarinya. Namun apa daya, tak kunjung ku temukan teman yang seharusnya ada untukku ini. Temannya yang lain, menawarkan bantuannya untuk membantuku, untuk dapat menuju ke kamar asramaku, kamar di lantai 6 yang berformat seperti apartemen studio. Sesampainya di kamar, aku mencoba untuk menghela nafas sejenak, membuka jendela yang kurasa belum lama ditutup dan ditinggalkan penghuninya yang terdahulu. Sembari membuka koper dan menata semua barang-barang bawaanku, aku mencoba untuk belajar untuk lebih memahami apa sebenarnya yang dapat aku lakukan, dan bisa aku dapati di kamar persinggahanku ini. Dengan keadaan terputus dari dunia luar, sejenak aku baru menyadari bahwasanya aku tidak mengerti apa yang aku harus lakukan, ataupun pada siapa aku dapat meminta bantuan. Terlihat secercah harapan saat kulihat tempat kabel LAN, yang biasa digunakan untuk menghubungkan dengan koneksi internet. Namun, setelah dua jam mencoba untuk mencari tahu keberadaan kabel LAN, aku pun mulai putus asa dan coba untuk pergi ke bawah, untuk membeli sesuatu yang dapat mengganjal perut, yang meskipun telah diisi oleh beberapa potong Beng-Beng, yang kubawa dari rumah. Betapa bahagianya saat kulihat berjajarnya kabel LAN yang dijajakkan pada toko serba ada yang berada di dekat asrama. Namun, masalah kembali hadir saat aku baru ingat, bahwasanya aku belum mempunyai pengalaman mengenai pengaturan IP, dan sebagainya. Bak seorang yang serba tahu, aku pun mencoba untuk mengutak-atik perangkatku, namun tidak kunjung berhasil, meskipun sudah ada sebuah kertas yang diharapkan dapat membantu para penghuni asrama untuk pengaturan internet, meskipun sepertinya mereka lupa bilamana tidak semua penghuni dari asrama ini ialah mahasiswa yang telah mempunyai kemampuan yang mumpuni, meskipun hanya untuk dapat sekadar membaca tulisan hangul. Dalam keputus asa-an, perangkatku pun aku istirahatkan, tak hanya badan ini. Namun, setelah beberapa saat, ketika aku kembali menyetel ulang perangkatku, sebuah koneksi jaringan pun telah terhubung. Sontak, meskipun hari sudah larut, langsung aku berikan kabar kepada kedua orang yang senantiasa menunggu kabar dari anak bungsu-nya ini. Sadar bila telah larut, akupun mengistirahatkan perangkatku, dan juga badanku agar keesokan harinya diri ini akan siap dengan segala petualangan yang telah menanti untuk dijelajahi.